A. Biografi
Al-Farabi memiliki nama lengkap Abu Nashr-Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan Al-Farabi. Sebutan Al-farabi diambil dari nama kampung kelahirannya Al-Farabi.
Ayahnya adalah seorang Iran yang menikah dengan seorang wanita Turkestan. Oleh karena itu, Al-Farabi disebut keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga disebut keturunan Iran.
Sejak kecil Al-Farabi suka belajar, dan ia mempunyai kecapakan yang luar biasa dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya antara lain bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan. Nampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Suryani, yaitu bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.
Setelah besar, Al-Farabi meninggalkan negerinya untuk menuju kota Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya, untuk belajar kepada Abu Bisyr in Mattius. Selama di Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika.
Nampaknya pada waktu pertama datang di Baghdad, hanya sedikit saja bahasa Arab yang dikuasainya. Ia belajar ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) pada Abu Bakar As-Sarraj, sebagai imbalan pelajaran logika yang diberikan oleh Al-Farabi kepadanya.
Sesudah itu ia pindah ke Harran, salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil, untuk berguru kepada Yuhanna bin Jilan. Akan tetapi, tidak lama kemudian ia meninggalkan kota itu dan kembali ke Baghdad untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai ilmu mantiq (logika).
Di Baghdad ia tinggal selama 20 tahun. Selama itu ia menggunakan waktunya untuk mengarang, memberikan pelajaran, dan mengulas buku-buku filsafat.
Al-Farabi tertarik pada kebudayaan Aleppo, tempat berkumpulnya manusia-manusia hebat di lingkungan istana Saif al-Daulah al-Hamadani. Kecerdasan dan kemahirannya pula yang membawanya kelingkaran istana. Disana ia bertemu dengan para sastrawan, para penyair, para ahli bahasa, par fukaha dan ilmuwan. Ibnu Khalikan memujinya sebagai filsuf muslim terbesar yang tak tertandingi dalam dunia sains dan filsafat.
Sistem filsafatnya merupakan sintesis dari Platonisme, Aristotelianisme, dan Sufisme.
Menurut Massignon, orientalis Prancis, Al-Farabi adalah seorang filsuf yang sebenarnya. Sebelum di memang ada al-Kindi yang telah membuka pintu filsafat Yunani untuk dunia Islam. Akan tetapi, ia tidak menciptakan sistem (mazhab) filsafat tertentu, sedang persoalan-persoalan yang dibicarakannya masih banyak yang belum memperoleh pemecahan yang memuaskan. Sebaliknya, Al-Farabi telah dapat menciptakan suatu sistem filsafat yang lengkap dan memainkan peranan yang penting dalam dunia Islam. Begitu juga, Al-Farabi menjadi guru bagi Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan filosof-filosof Islam lain yang datang sesudahnya.
B. Karya-karya Al-Farabi
Karya-karya Al-Farabi diklasifikasikan kedalam logika dan non-logika. Dibidang logika, ia memberikan komentar atas Organon atas karya Aristoteles, dan menulis pengantar logika. Sedangkan dalam bidang non-logika, ia meringkas tulisan Plato The Laws; mengomentari Nicomachean Ethics, Physics, Meteorology, de Caelo et de Mundo on the Movement of the Heavenly Sphere Aristoteles, mengulas komentar Alexander Aphrodisias tentang jiwa (de Anima), ditambah tulisan pribadi tentang jiwa (on the soul), daya jiwa (on the power of the soul), kesatuan dan satu (unity and the one), aql dan ma’qul (the intelligency and intelligible), menulis makalah tentang substansi (substance), waktu (time), ruang serta ukuran (space and measure), dan kekosongan (vacuum), mengulas al-Majasta Ptolemy, dan berbagai ulasan tentang persoalan Euchid.
Karya-karya Al-Farabi beredar di Timur dan Barat pada abad 10 dan 11 M, sebagaimana terlihat pada terjemahannya ke bahasa Yunani dan Latin hingga memengaruhi cakrawala pemikiran sarjana Yahudi dan Kristen. Pemikiran filsafat Al-Farabi menjadi dasar pijakan Ibnu Sina.
Banyak karangan yang telah ditinggalkan oleh Al-Farabi, namun karyanya tersebut tidak banyak dikenal seperti karangan Ibnu Sina. Boleh jadi, karena karya-karyanya hanya berupa risalah (karangan pendek), dan sedikit sekali yang berupa buku besar yang mendalam pembicaraannya.
Diantara karangan-karangannya ialah:
1. Aghradhu ma Ba’da Ath-Thabi’ah.
2. Al-Jam’u baina Ra’yai Al-Hakimain (mempertemukan pendapat kedua Filosof (Plato dan Aristoteles)
3. Tahsil As-Sa’adah (mencari kebahagiaan)
4. ‘Uyun ul-Masail (pokok-pokok persoalan)
5. Ara-u Ahl-il Madinah Al-Fadlilah (pikiran-pikiran penduduk Kota Utama Negeri Utama)
6. Ih-sha’u Al-Ulum (Statistik Ilmu)
Suatu keistimewaan yang diraih oleh Al-Farabi ialah tentang usaha yang ia lakukan dalam mengkompromikan perbedaan paham antara Plato dan Aristoteles. Plato mengatakan bahwa alam nyata yang kita lihat ini hanyalah tiruan semata dari alam idea, sedangkan menurut Aristoteles mengatakan sebaliknya, bahwa alam idea hanyalah bayangan (pantulan) saja dari alam materi. Plato mengatakan bahwa alam dunia ini adalah baru (hadis) dan tidak abadi, maka sebaliknya Aristoteles berpendapat bahwa alam dunia ini aadim (azali), sudah ada sejak semula dan abadi selama-lamanya.
Al-Farabi melihat adanya perbedaan pendapat antara Plato dan Aristoteles, tetapi perbedaan itu menurut dia secara lahiriah saja, dan mengenai persoalan pokok, karena kedua tokoh tersebut adalah sumber (pencipta filsafat). Apa yang dikatakan oleh kedua filosof itu, kebenarannya tanpa diragukan lagi. Sumber pikiran kedua filosof tersebut juga satu.
Oleh karena itu, pikiran-pikiran filsafatnya tidak mungkin berbeda. Kalau ada perbedaan, tidak lebih dari tiga kemungkinan yaitu:
• Definisi filsafat itu sendiri tidak benar.
• Pendapat orang banyak tentang pikiran-pikiran filsafat dari kedua filosof tersebut tidak benar
• Pengetahuan kita tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar.
Karya pendamai itu ditulis dalam bukunya, Al-Jam’u baina rakya Hakimaini. Di sana dikatakan bahwa semua filsafat itu memikirkan kebenaran. Da karena kebenaran itu hanyalah satu macam dan serupa hakikatya, maka semua filsafat itu pada prinsipnya tidak berbeda. Begitu juga antara filsafat dan agama. Filsafat memikirkan kebenaran, sedangkan agama juga memikirkan kebenaran. Maka sudah pasti, menurut Al-Farabi, tidak ada perbedaan antara filsafat pada umumnya dengan agama.
C. Filsafat Al-Farabi
1. Metafisika
Hal-hal yang diicarakan Al-Farabi dalam metafisika adalah sebagai berikut:
a. Tuhan
Al-Farabi, sebelum membicarakan tentang hakikat Tuhan dan sifat-sifat-Nya terlebih dulu membagi wujud yang ada pada dua bagian.
1. Wujud yang mumkin atau wujud yang nyata karena lainnya (wajib lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidk akan ada kalau tidak ada matahari. Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebab yang pertama (Tuhan), karena yang mumkin itu, harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata dan yang pertama kali ada.
2. Wujud yang nyata dengan sendirinya (wajib al-wujud lidzatih). Wujud adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya. Wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, akan timbul dan kelihatan sama sekali. Ia adalah Sebab Yang Pertama bagi semua wujud. Wujud Yang Wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah).
b. Hakikat Tuhan
Allah adalah wujud yang sempurna dan yang ada tanpa suatu sebab, karena kalau ada sebab bagi-Nya berarti ia tidak sempurna, sebab tergantung padanya. Ia adalah wujud yang paling mulia dan yang paling dahulu adanya. Oleh karena itu, Tuhan adalah zat yang azali (tanpa permulaan) yang selalu ada.
Semakin jelas wujud sesuatu, seharusnya semakin jelas pula pengetahuan kita tentang Dia serta semakin teliti, keadaan ini seharusnya berlaku bagi wujud Tuhan sebagai wujud yang sempurna. Akan tetapi, yang terjadi malah sebaliknya, yaitu ketidak jelasan pengetahuan kita tentang Tuhan. Hal ini disebabkan oleh wujud Tuhan adalah wujud yang mutlak yang tidak terbatas, dan berada diluar kesanggupan manusia yang serba terbatas.
c. Sifat-sifat Tuhan
Sifat Tuhan tidak berbeda dengan substansinya. Tuhan adalah ‘Aql murni, Ia Esa adanya dan yang menjadi objek pemikiran-Nya hanya substansi-Nya saja. Jadi Tuhan adalah Akal, substansi yang berfikir dan substansi yang dipikirkan. Tuhan itu Maha Tahu, Ia tidak membutuhkan sesuatu diluar Zat-Nya untuk tahu dan juga memberi tahu untuk diketahuinya, cukup dengan substansi-Nya Tuhan itu, Ilmu, substansi yang mengetahui dan substansi yang diketahui.
Al-Farabi berusaha keras untuk menunjukan keesaan Tuhan dan ketunggalan-Nya, dan bahwa sifat-sifat-Nya tidak lain adalah Zat-Nya sendiri. Dari segi ini, yakni kesatuan sifat dengan Zat, ia sependapat dengan golongan Mu’tazilah.
Tentang Asma Al-Husna, dikatakan oleh Al-Farabi bahwa kita bisa menyebut nama-nama sebanyak yang kita kehendaki. Akan tetapi, kesemuanya ini hanya menunjukan macam-macam hubungan Tuhan dengan makhluk dari segi keagungan-Nya. Nama-nama tersebut sama sekali tidak menunjukan adanya bagian-bagian pada Zat Tuhan atau sifat-sifat yang berbeda dari Zat-Nya.
Pandangan Al-Farabi tentang Tuhan, sebagaimana yang telah disebutkan diatas diambil dari filsafat Aristoteles tentang metafisika, dan dari ajaran-ajaran Islam Platonisme. Tuhan yang digambarka Al-Farabi adalah Tuhan yang jauh dari Makhluk-Nya dan ia tidak bisa dicapai, kecuali dengan jalan renungan dan amalan serta pengalaman-pengalaman tasawuf (pengalaman batin). Pandangan tersebut menjadi polemik yang dinamis antara golongan-golongan Islam, dan menyebabkan fuqaha serta muhadis menentang filsafat dan filosof-filosof, karena Tuhan yang digambarkan dalam Al-Quran sebenarnya dekat dengan makhluk-Nya, mengetahui semua perbuatan dan keadaan mereka dan mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan apa yang digambarkan para filosof-filosof.
Al-Farabi memberikan jalan keluar untuk mengenal Tuhan. Tuhan bukan persoalan yang tidak dapat dipahami sama sekali. Melalui penalaran dan argumentasi sesungguhnya manusia mampu mengetahui Tuhan. Al-Farabi membuktikan eksistensi Tuhan dengan mengajukan beberapa argumen. Pertama, bukti dari teori gerak. Semua yang terdapat dialam semesta selalu bergerak yang pada gilirannya bermuara pada satu hal yang pasti, yaitu adanya sesuatu yang tidak bergerak, tetapi bertindak sebagai penggerak. Kedua, penyebab efisien. Demikian pula dengan adanya sebab-sebab yang beruntun yang berjuang pada sebab dari segala sebab, yaitu Tuhan. Ketiga, argumen mumkin al-wujud. Semua yang ada didunia adalah realitas yang sangat memungkinkan.
2. Filsafat Kenabian
Manusia dapat berhubungan dengan akal fa’al melalui dua cara yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi pilihan yang dapat menembus materi untuk dapat mencapai cahaya keutamaan. Sedangkan cara yang kedua hanya dapat dilakukan oleh Nabi. Perbedaan antara kedua cara tersebut hanya pada tingkatannya, tidak pada esensinya.
Ciri seorang Nabi mempunyai daya imajinasi yang kuat, dimana objek indrawi dari luar tidak dapat mempengaruhinya ketika Ia berhubungan dengan akal fa’al, Ia dapat menerima visi dan kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu merupakan limpahan dari Tuhan melalui ‘aql fa’al (akal 10) yaitu jibril. Nabi berhubungan langsung dengan akal 10 tanpa latihan, karena Allah menganugrahi akal yang mempunyai kekuatan suci.
Sedangkan filosuf dapat berhubungan dengan Tuhan melalui akal mustafad (perolehan) yang terlatih dan kuat daya tangkapnya, sehingga dapat menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal 10. Karena nabi dan filsuf dapat berhubungan dengan akal 10, maka antara wahyu dan filsafat tidak dapat bertentangan.
Filsafat ini dimajukan Al-Farabi untuk menentang aliran yang tidak percaya kepada Nabi atau Rasul (wahyu) sebagai yang dibawa oleh Al-Razi dan lain-lain pada zaman itu.
3. Teori Politik
Pemikiran politiknya dituangkan dalam karyanya yang berjudul Al-Siyasah Al-Madaniyyah (pemerintahan politik) dan Ara’ al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama). Pekerjaan terpenting dalam negara adalah pimpinan atau penguasanya. Penguasa adalah orang yang paling unggul baik dalam bidang intelek tual dan moralnya. Ia harus memiliki kwalitas berikut:
a. Kecerdasan
b. Ingatan yang baik
c. Pikiran yang tajam
d. Cinta pada pengetahuan
e. Sikap moderat dalam bidang makanan, minuman dan seks
f. Cinta pada kejujuran
g. Kemurahan hati
h. Kesederhanaan
i. Cinta pada keadilan
j. Ketegaran dan keberanian
k. Kesehatan jasmani
l. Kefasihan bicara
Filsafatnya mengenai politik kenegaraan menyatukan bahwa masyarakat terdiri dari dua macam, yaitu masyarakat sempurna dan masyarakat tidak sempurna.
Masyarakat sempurna dibaginya dalam tiga tingkatan: masyarakat besar, yaitu dunia seluruhnya, masyarakat pertengahan yang terdiri atas sebagian dunia atau suatu teritorial, dan masyarakat kecil yang hanya terdiri atas satu kota. Perkembangan dari tidak sempurna menjadi sempurna menurut Al-Farabi bertingkat-tingkat. Mula-mula masyarakat manusia berupa masyarakat yang tersebar, lalu menjadi masyarakat desa dan kampung, kemudian menuju ke masyarakat kota yang sempurna berpemerintahannya.
Al-Farabi menerangkan bahwa masyarakat sempurna itu ialah masyarakat yang mengandung keseimbangan diantara unsur-unsurnya. Perbedaannya hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan individual yang lebih besar, maka dalam diri manusia unsur-unsurnya itu lebih dikuasai dari diperintah oleh pusatnya.
Pokok filsafat politik kenegaraan Al-Farabi ialah autokrasi dengan seorang raja yang berkuasa mutlak mengatur negara. Menurut Al-Farabi, negara yang utama (al-Madinah al-Fadhilah) ialah kota (negara) yang warga-warganya tersusun menurut susunan alam besar (makro kosmos) atau menurut susunan alam kecil (mikro kosmos).
Adapun negara yang tidak baik dibagi menjadi dua macam yaitu negara fasik dan negara bodoh. Negara fasik ialah yang anggota-anggotanya berpengetahuan sama dengan anggota Madinah Fadilah tetapi kelakuannya seperti anggota negara bodoh. Negara bodoh ialah yang anggota-anggotanya hanya mencari kesenangan jasmani saja.
Selanjutnya mengenai etika kenegaraan, Al-Farabi mengemukakan teori bahwa tiap keadaan tentu ada unsur-unsur pertentangan. Keadilan baru bisa dilaksanakan bila kita dalam kemenangan.
Kepala negara harus bersifat Filosuf Nabi, jika tidak ada yang memiliki dua belas atribut (kualitas) diatas pimpinan negara dapat dipegang secara kolektif untuk mencapai kebahagiaan Al-Farabi menekankan lima sifat utama bagi bangsa dan setiap warga negara, yakni:
a. Keutamaan teoritis, merupakan prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan alasannya. Pengetahuan ini dapat juga diperoleh melalui kontemplasi, penelitian, belajar, dan mengajar.
b. Keutamaan pemikiran, yakni yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan, seperti kemampuan membuat aturan (undang-undang).
c. Keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaikan pengetahuan ini menjadi syarat keutamaan pemikiran.
d. Keutamaan amaliah, diperoleh melalui pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan pemaksaan.
e. Bertindak tidak berlebihan yang dapat merusak jiwa dan fisik.
4. Logika
Al-Farabi memberikan perhatian khusus terhadap mantik.
Dalam lapangan mantik, ia banyak meninggalkan karangan-karangan. Sayangnya, karangan-karangan tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali satu buku yang berjudul Syarh Kitab Al-Ibarah Li Aristoteles (penjelasan terhadap buku Al-Ibarah dari Aristoteles), dan beberapa karangan singkat dalam buku Tahsil As-Sa’si dan Ihsha-ul’Ulum. Tampaknya dalam lapangan logika, Al-Farabi banyak mengikuti Aristoteles. Pendapatnya tentang logika adalah sebagai berikut:
a. Definisi logika. Logika ialah ilmu tentang pedoman (peraturan) yang dapat menegakkan pikiran dan menunjukannya pada kebenaran dalam lapangan yang tidak bisa dijamin kebenarannya.
b. Guna Logika. Maksud logika ialah agar kita dapat membetulkan pemikiran orang lain, atau agar orang lain dapat membenarkan pemikiran kita, atau kita dapat membetulkan pemikiran diri kita sendiri.
c. Lapangan Logika. Lapangan ialah segala macam pemikiran yang bisa diutarakan dengan kata-kata, dan juga segala macam kata-kata dalam kedudukannya sebagai alat menyatakan pikiran.
d. Bagian-bagian Logika. Bagian-bagiannya ada delapan, yaitu kategori (al-ma-qulat al-‘asyr); kata-kata (al-ibarah; termas); analogi pertama (al-qiyas); analogi kedua (al-burhan); jadal (debat); sofistika; retorika; dan poetika (syair).
Pembagian qiyas ada lima, yaitu:
1. Qiyas yang meakinkan (qiyas-burhani), yaitu qiyas yang memberikan keyakinan.
2. Qiyas jadali, yaitu qiyas yang terdiri dari hal-hal yang sudah terkenal dan bisa diterima (al-masyhurat wal musallamat).
3. Qiyas sofistika ialah qiyas yang menimbulkan sangkaan bahwa sesuatu yang tidak benar kelihatan benar atau sebliknya.
4. Qiyas-khatabi, yaitu qiyas yang menimbulkan dugaan yang tidak begitu kuat.
5. Qiyas-Syi’ri, yaitu qiyas yang memakai perasaan dan khayalan untuk dapat menarik orang lain.
5. Emanasi (Al-Faid)
Emanasi adalah teori tentang keluarnya keluarnya suatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajib-ul-wujud (Zat yang mesti adanya;Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori tingkatan wujud”.
Dengan filsafat ini Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna, dan tidak berhajat pada apapun. Menurut Al-Farabi terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Esa terjadi dengan cara emanasi.
Dasar adanya emanasi tersebut ialah dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam alam manusia sendiri, apabila kita memikirkan sesuatu, tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujud-Nya.
Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut akal pertama, yang mengandung dua segi. Pertama, segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyya), yaitu wujud yang mumkin. Kedua, segi lain, yaitu wujudnya yang nyata dan yang terjadi karena adanya Tuhan, sebagai Zat yang menjadikan. Jadi, meskipun akal pertama tersebut satu (tunggal), pada dirinya terdapat bagian-bagian, yaitu adanya dua segi tersebut yang menjadi objek pemikirannya.
Dari pemikiran akal pertama, dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya, maka keluarlah akal kedua. Jadi, dari kedua objek pengetahuan, yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkin, keluarlah dua macam makhluk, yaitu bendanya benda langit dan jiwanya.
Dari akal kedua, timbullah akal ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap beserta jiwanya, dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada akal pertama.
Dari akal ketiga keluarlah akal keempat dan planet Saturnus beserta jiwanya. Dari akal keempat keluarlah akal kelima, dan planet Yupiter beserta jiwanya.
Dari akal kelima keluarlah akal keenam dan planet Mars beserta jiwanya. Dari akal keenam keluarlah akal ketujuh dan matahari beserta jiwanya.
Dari akal ketujuh keluarlah akal kedelapan dan planet Venus juga beserta jiwanya. Dari akal kedelapan keluarlah akal kesembilan dan planet Mercurius beserta jiwanya.
Dari akal kesembilan keluarlah akal kesepuluh dan Bulan. Dengan demikian, dari satu akal keluarlah satu satu akal pula dan satu planet beserta jiwanya.
Dari akal kesepuluh, sesuai dengan dua seginya, yaitu wajib-ul-wujud karena Tuhan, maka keluarlah manusia beserta jiwanya, dan dari segi dirinya merupakan wujud yang mumkin, maka keluarlah unsur empat dengan perantaraan benda-benda langit.
Demikianlah, jumlah akal ada sepuluh, sembilan diantaranya untuk mengurus benda-benda langit yang sembilan, dan akal kesepuluh, yaitu akal bulan, mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi. Akal-akal tersebut tidak berbeda, tetapi merupakan pikiran selamanya. Kalau pada Tuhan, yaitu wujud yang pertama, hanya terdapat satu objek pemikiran, yaitu Zat-Nya saja, pada akal-akal tersebut terdapat dua objek pemikiran, yaitu Tuhan, Zat yang wajib-ul-wujud dan dari akal-akal itu sendiri.
Tidak jelas apa yang dimaksud Al-Farabi. Sebagian penyelidik berpendapat bahwa bagi Al-Farabi alam ini baru. Tetapi De Boer mengartikan alam menurut Al-Farabi qadim (tidak bermula). Yang jelas bahwa materi asal dari alam memancar dari wujud Allah dan pemancaran itu terjadi dari qidam.
Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari akal kesepuluh.
Sebagai Aristoteles ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya:
a. Gerak (motion) i. Makan
ii. memelihara
iii. berkembang
b. Mengetahui (cognition) i. Merasa
ii. imaginasi
c. Berfikir (intellection) i. Akal praktis
ii. akal teoritis
daya berfikir terdiri dari tiga tingkat:
i. Akal potensi (material intellec) baru mempunyai potensi berfikir dalam arti: melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya.
ii. Akal aktual (actual intellec) telah dapat melepaskan arti-arti dan materinya, dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensi, tetapi dalam bentuk aktual.
iii. Akal mustafad (acquired intellec), telah dapat mennagkap bentuk semata-mata. Kalau akal aktual hanya dapat menangkap arti-arti terlepas dari materi, akal mustafad sanggup menangkap bentuk semata-mata. Bentuk semata-mata ini berlainan dengan tidak pernah berada dalam materi untuk dapat dilepaskan dari materi. Bentuk semata-mata berada tanpa materi seperti akal yang sepuluh dan Tuhan.
Akal potensi menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang dapat ditangkap dengan pancaindra, akal aktual menangkap arti-arti dan konsep-konsep dan akal mustafad mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan atau menangkap inspirasi dari akal yang diatas dan diluar diri manusia yaitu akal kesepuluh yang diberi nama akal aktif.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Al-Farabi memiliki nama lengkap Abu Nashr-Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan Al-Farabi. Sebutan Al-farabi diambil dari nama kampung kelahirannya Al-Farabi. Al-Farabi meninggalkan negerinya untuk menuju kota Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya, untuk belajar kepada Abu Bisyr in Mattius. Selama di Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika.
2. Karya-karya Al-Farabi diklasifikasikan kedalam logika dan non-logika. Dibidang logika, ia memberikan komentar atas Organon atas karya Aristoteles, dan menulis pengantar logika. Sedangkan dalam bidang non-logika, ia meringkas tulisan Plato The Laws; mengomentari Nicomachean Ethics, Physics, Meteorology, de Caelo et de Mundo on the Movement of the Heavenly Sphere Aristoteles, mengulas komentar Alexander Aphrodisias tentang jiwa (de Anima).
3. Filsafat Al-Farabi terdiri dari:
a. Metafisika
b. Filsafat Kenabian
c. Teori Politik
d. Logika
e. Emanasi
0 komentar:
Posting Komentar