BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah yang bernama lengkap Taqayuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku.
Karena kecerdasan dan kejeniusannya, Ibnu Taimiyah yang berusia masih sangat muda telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran, seperti tafsir, hadits, fiqih, matematika, dan filsafat, serta berhasil menjadi yang terbaik diantara teman-teman seperguruannya. Guru Ibnu Taimiyah berjumlah 200 orang, diantaranya adalah Syamsuddin Al-Maqdisi, Ahmad bin Abu Al-Khair, Ibn Abi Al-Yusr, dan Al-Kamal bin Abdul Majd bin Asakir.
Ketika berusia 17 tahun, Ibnu Taimiyah telah diberi kepercayaan oleh gurunya, Syamsuddin Al-Maqdisi, untuk mengeluarkan fatwa. Pada saat yang bersamaan, ia juga memulai kiprahnya sebagai seorang guru. Kedalamannya ilmu Ibnu Taimiyah memperoleh penghargaan dari pemerintah pada saat itu dengan menawarinya jabatan kepala kantor pengadilan. Namun, karena hati nuraninya tidak mampu memenuhi berbagai batasan yang ditentukan oleh penguasa, ia menolak tawaran tersebut.
Kehidupan Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada dunia buku dan kata-kata. Ketika kondisi menginginkannya, tanpa ragu-ragu ia turut serta dalam dunia politik dan urusan publik.
Dengan kata lain, keistimewaan diri Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada kepiawainnya dalam menulis dan berpidato, tetapi juga mencakup keberaniannya dalam berlaga dimedan perang.
Penghormatan yang begitu besar yang diberikan masyarakat dan pemerintah kepada Ibnu Taimiyah membuat sebagian orang merasa iri dan berusaha untuk menjatuhkan dirinya. Sejarah mencatat bahwa sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa tahanan sebanyak empat kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya.
Selama dalam tahanan, Ibnu Taimiyah tidak pernah berhanti untuk menulis dan mengajar. Bahkan, ketika penguasa mencabut haknya untuk menulis dengan cara mengambil pena dan kertasnya, ia tetap menulis dengan menggunakan batu arang. Ibnu Taimiyah meninggal dunia didalam tahanan pada tanggal 26 September 1328 M (20 Dzul Qo’dah 728 H) setelah mengalami perlakuan yang sangat kasar selama lima bulan.
B. Karya dan Kitab Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah dipandang sebagai cendekiawan yang berpendirian teguh, ia menunjukan keteguhannya ketika menarik kesimpulan mengenai suatu masalah. Apabila ia sudah menyimpulkan suatu masalah, ia tidak peduli orang lain akan mendukung atau menentangnya. Ia percaya bahwa kesimpulannya bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah, dan tradisi masyarakat muslim dimasa lampau.
Ibnu Taimiyah termasuk penulis produktif, karya tulisannya mencakup bidang akidah, fikih, tafsir, hadis, tasawuf, filsafat, hingga politik. Menurut Muhammad Farid Wajdi (editor Da’irah Al-Ma’arif Al-Islamiyah) karya ibnu Taimiyah mencapai 5000 judul. Beberapa karyanya antara lain adalah:
1) Jamu’u kalimat Al-Muslimin
2) Aqidah Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah
3) Al-furqon baina Auliya Ar-Rahman wa Auliya Asy-syithan
4) Iqtidha Ash-Shirat Al-mustaqim mukhalafatu Ahli Al-Jahim
5) Ar-Risalah Al-Madaniyah Fi-majaz wa Al-Haqiqah Fi sifatilah Ta’ala
6) Arsy Ar-Rahman wa ma warada
7) An- Nubuwwat
8) Al- Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Din Al-masih
9) Al-washiyah Al-Jami’ah Li khair ad-Dunya wa Al-Akhirah
10) Idhah Ad-Dalalah Fi umum-Ar-Risalah
Berkat pemikiran beliau gaung ijtihad mulai terdengar ditengah masyarakat muslim. Semula pemikirannya itu hanya berpengaruh pada murid terdekatnya namun akhirnya, ajaran Ibnu Taimiyah meresap pula kedalam suatu gerakan keagamaan. Di India misalnya, muncul ulama besar bernama Syah Wahyullah yang mengaku pengikut ajaran Ibnu Taimiyah, lalu ppendiri gerakan wahabi di Arab Saudi, Muhammad bin Abdul Wahhab, adalah tokoh islam yang paling terpengaruh oleh pwemhaman Ibnu Taimiyah, begitu juaga dengan Muhammad Abduh dan Rasyid Rida (dua tokoh pembaharu di mesir). Mereka juga sangat terpengaruh oleh gerakan pemurnian akidah dan ibadah ibnu Taimiyah.
C. TEORI PEMIKIRAN EKONOMI IBNU TAIMIYAH
1. MEKANISME HARGA
Mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas dasar gaya tarik-menarik antara produsen dan konsumen baik dari pasar output (barang) ataupun input (factor-faktor produksi). Adapun harga diartikan sebagai sejumlah uang yang menyatakan nilai tukar suatu unit benda tertentu.
Harga yang adil merupakan harga (nilai barang) yang dibayarkan untuk suatu objek tertentu yang diberikan pada waktu dan tempat diserahkan barang tersebut.
Definisi harga yang adil juga bisa diambil dari konsep Aquinas yang mendefinisikannya dengan harga kompetitif normal. Yaitu harga yang berada dalam persaingan sempurna yang disebabkan oleh supply dan demand dimana tidak ada unsur spekulasi.
Menurut Ibnu Taimiyah naik turunnya harga bukan saja dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan tetapi ada factor-faktor yang lain:
Bahwa naik dan turunnya harga tidak selalu disebabkan oleh tindakan tidak adil dari sebagian orang yang terlibat transaksi. Bisa jadi penyebabnya adalah penawaran yang menurun akibat inefisiensi produksi, penurunan jumlah impor barang-barang yang diminta atau juga tekanan pasar. Karena itu jika permintaan terhadap barang meningkat sedangkan penawaran menurun, harga tersebut akan naik. Begitu pula sebaliknya, kelangkaan dan melimpahnya barang mungkin disebabkan oleh tindakan yang adil atau mungkin juga karena tindakan yang tidak adil.
Menurut Ibnu Taimiyah dalam al-Hisbah fi al-Islam ia menyatakan:
Penawaran bisa dating dari produksi domestic dan impor. Perubahan dalam penawaran digambarkan sebagai peningkatan atau penurunan dalam jumlah barang yang ditawarkan, sedangkan permintaan sangat ditentukan oleh selera dan pendapatan. Besar kecilnya kenaikan harga bergantung pada besarnya perubahan penawaran dan atau permintaan. Bila seluruh transaksi sudah sesuai aturan, kenaikan harga yang terjadi merupakan kehendak Allah.
Tetapi kedua perubahan itu tak selalu menyatu, juga tak selalu terjadi bersamaan, permintaan menurun sementara penawaran stabil harganya akan turun dan sebaliknya. Seperti dinyatakan dalam al-Hisbah fi al-Islam, Ibnu Taimiyah menggambarkan dua perubahan itu secara terpisah.
Jika penduduk menjual barang mereka dengan cara umum yang diterima, bukan karena ketidakadilan pihaknya, harga akan menurun sebagai konsekuensi dari penurunan jumlah persediaan barang itu atau meningkat jumlah penduduk semuanya karena Allah SWT.
2. HARGA YANG ADIL MENURUT IBNU TAIMIYAH
Konsep harga yang adil pada hakekatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Alquran sendiri sangat menekankan kedilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia.oleh karena itu, adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar, khususnya harga. Barkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw menggolongkan riba sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen.
Istilah harga yang adil juga telah disebutkan dalam bebarapa hadits nabi dalam konteks kompensasi seorang pemilik, misalnya dalam kasus seorang majikan yang membebaskan budaknya. Sekalipun penggunaan istilah tersebut sudah ada sejak awal kehadiran islam, Ibnu Taimiyah tampaknya orang yang pertama kali menaruh perhatian khusus terhadap permasalahan harga yang adil. Dalam membahas persoalan yang berkaitan dengan harga, ia sering kali menggunakan dua istilah, yaitu kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) dan harga yang setara (tsaman al-mitsl). Ia menyatakan, “kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan inilah esensi keadilan (nafs Al-adl)”.
Ditempat lain ia membedakan antara dua jenis harga, yakni harga yang tidak adil dan dilarang serta harga yang adil dan disukai. Ibnu Taimiyah menganggap harga yang setara sebagai harga yang adil. Oleh karena itu, ia menggunakan kedua istilah ini secara bergantian.
Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) tidak sama dengan harga yang adil (tsaman al-mitsl). Persoalan tentang kompensasi yang adil atau setara (‘iwadh al-mitsl) muncul ketika mengupas persoalan kewajiban moral dan hukum.
a. Konsep Upah yang Adil
Pada abad pertengahan, konsep upah yang adil dimaksudkan sebagai tingkat upah yang wajib diberikan kepada para pekerja sehingga mereka dapat hidup secara layak ditengah-tengah masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengacu pada tingakat harga yang berlaku dipasar tenaga kerja (tas’ir fil a’mal) dan menggunakan istilah upah yang setara (ujrah al-mitsl). Seperti halnya harga, prinsip dasar yang menjadi objek observasi dalam menentukan suatu tingkat upah adalah definisi menyeluruh tentang kualitas dan kuantitas.
Harga dan upah, ketika keduanya tidak pasti dan tidak ditentukan atau tidak dispesifikasikan dan tidak diketahui jenisnya, merupakan hal yang samar dan penuh dengan spekulasi.
Tentang bagaimana upah yang setara itu ditentukan, Ibnu Taimiyah menjelaskan:
“upah yang setara akan ditentuakan oleh upah yang telah diketahui (musamma’)jika ada, yang dapat menjadi acuan bagi kedua belah pihak. Seperti halnya dalam kasus jua dan sewa, harga yang telah diketahui (tsaman musamma’) akan diperlakuan sebagai harga yang setara”.
b. Konsep laba yang adil
Menurutnya, para pedagang barhak memperoleh keuntungan melalui cara-cara yang dapat diterima secara umum tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan para pelanggannya.
Berdasarkan definisi tentang harga yang adil, Ibnu Taimiyah medefinisikan laba yang adil sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu, tenpa merugikan orang lain.
Ia menentang tingkat keuntungan yang tidak lazim, bersifat eksplotif dengan memanfaatkan ketidakpedulian masyarakat terhadap kondisi pasar yang ada. Ia menjelaskan:
“seseorang yang memperoleh barang untuk mendapatkan pemasukan dan memperdagangkannya dikemudian hari diizinkan melakukan hal tersebut. Namun, ia tidak boleh mengenakan keuntungan terhadap orang-orang miskin yang lebih tinggi daripada yang sedang berlaku dan seharusnya tidak menaikan harga terhadap mereka yang sedang sangat membutuhkan ”.
Ibnu Taimiyah memandang laba sebagai penciptaan tenaga kerja dan modal secara bersamaan. Oleh karena itu, pemilik kedua faktor produksi tersebut berhak memperoleh bagian keuntungan. Dalam hal tejadi suatu perselisihan, ia menyatakan bahwa keuntungan dibagi menurut cara yang dapat diterima secara umum oleh kedua belah pihak, yakni pihak yang menginvestasikan tenaganya dan pihak yang menginvestasikan uangnya. Ia menyatakan:
“karena keuntungan merupakan tambahan yang dihasilkan oleh tenaga disatu pihak dan harta dipihak lain, maka pembagian keuntungan dilakuan dengan cara yang sama sebagai tambahan yang diciptakan oleh kedua faktor tersebut”.
3. REGULASI HARGA
Regulasi harga adalah pengaturan terhadap harta barang-barang yang dilakukan oleh pemerintah. Regulasi ini bertujuan untuk memelihara kejujuran dan kemungkinan penduduk bisa memenuhi kebutuhan pokonya. Dalam sejarah Islam, kebebasan sudah dijamin dengan berbagai tradisi masyarakat dan sistem hukumnya. Sebagian orang berpendapat bahwa negara dalam Islam tidak boleh mencampuri masalah ekonomi dengan mengharuskan nilai-nilai dan moralitas atau menjauhkan sanksi kepada orang yang melanggarnya. Mereka mempunyai pandangan seperti ini berdasarkan pada hadits Nabi SAW yang tidak bersedia menetapkan harga-harga walaupun pada saat itu harga melambung tinggi. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra.
”Dari Anas bin Malik ra, beliau berkata: harga barang-barang pernah mahal pada masa Rasulullah saw, lalu orang-orang berkata: ya Rasulullah, harga-harga menjadi mahal, tetapkanlah standar harga untuk kami, lalu Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah-lah yang menetapkan harga, yang menahan dan membagikan rizki, dan sesungguhnya saya mengharapkan agar saya berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak seorangpun diantara kamu sekalian yang menuntut saya karena kezaliman dalam pertumpahan darah (pembunuhan) dan harta”.
Ibnu Taimiyah menafsirkan hadist tentang regulasi harga, bahwa kasus tersebut merupakan kasus yang khusus dan bukan kasus yang umum. Menurutnya, harga naik karena kekuatan pasar, bukan karena ketidaksempurnaan pasar tersebut. Menurut Ibnu Taimiyah, hadist tersebut mengungkapkan betapa Nabi saw tidak mau ikut campur tangan dalam masalah regulasi harga-harga barang. Akan tetapi hal tersebut disebabkan oleh kenaikan harga yang dipicu kondisi objektif pasar Madinah, bukan karena kecurangan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat untuk mengejar keuntungan belaka. Pada saat itu, pasar Madinah kekurangan supply impor atau karena menurunnya produksi. Hal itu terjadi bukan karena ada pedagang yang sengaja menimbun barang di pasaran. Dengan demikian, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kenaikan harga barang-barang pada masa Nabi saw dikarenakan bekerjanya mekanisme harga.
Pada kondisi terjadinya ketidaksempurnaan pasar, Ibnu Taimiyah merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah. Misalnya dalam kasus dimana suatu komoditas kebutuhan pokok yang harganya naik akibat adanya manipulasi atau perubahan harga yang disebabkan oleh dorongan-dorongan monopoli. Maka dalam keadaan seperti inilah, pemerintah harus menetapkan harga yang adil bagi penjual dan pembeli.
Otoritas pemerintah dalam melakukan pengawasan harga harus dirundingkan terlebih dahulu dengan penduduk yang berkepentingan. Tentang ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan sebuah metode yang diajukan pendahulunya, Ibnu Habib, bahwa pemerintah harus menyelenggarakan musyawarah dengan para tokoh perwakilan dan pasar. Yang lain juga diterima hadir, karenanya mereka harus diperiksa keterangannya. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang transaksi jual beli, pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan harga yang didukung oleh para peserta musyawarah, juga penduduk semuanya. Jadi keseluruhannya harus sepakat tentang hal itu.
Dalam kitabnya, al-Hisbah, penetapan harga harus diperlukan untuk mencegah manusia menjual makanan dan barang lainnya hanya kepada kelompok tertentu dengan harga yang ditetapkan sesuai keinginan mereka. Oleh karena itu, regulasi harga (fixed price policy) sangat mempermudah usaha mikro dalam menghadapi manipulasi pasar yang umumnya dilakukan oleh pengusaha besar. Kebijakan ini sering digunakan pemerintah untuk mellindungi sektor usaha mikro dari kehancuran.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Siyasa’t al-Syar’iyyah fi’ Ishla’h al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi, dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat yang ia sebut ada ’al-ama’na’t ila’hliha. Pengelolaan negara serta sumber-sumber pendapatannya menjadi bagian dari seni oleh negara, pengertian al-siyasah al-dustu’riyyah maupun al-siya’sa’t al-ma’liyyah (politik hukum publik dan privat). Sedangkan dalam karya lainnya, al-Hisbah fi al-Islam, lebih menekankan intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar; hingga akuntansi yang erat kaitannya dengan sistem dan prinsip zakat, pajak, dan jizyah. Dengan demikian, seperti halnya dengan Abu Ubaid, nampaknya Ibnu Taimiyah mempunyai kerangka fikir yang sejalan dalam pendapat yang menyatakan bahwa ekonomi syari’ah, baik sistem maupun hukumnya, merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dan ketatanegaraan.
4. Fungsi Uang dan Perdagangan Uang
Dalam hal uang, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa fungsi utama uang adalah sebagai alat pengukur nilai dan sebagai media untuk memperlancar pertukaran barang. Hal itu sebagaimana yang beliau ungkapkan, bahwa Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.
Apabila uang ditukarkan dengan uang yang lain, maka pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud) , dan tanpa penundaan (hulul). Apabila dua orang saling mempertukarkan uang dengan kondisi di satu pihak membayar tunai sementara pihak lainnya berjanji membayar di kemudian hari, maka pihak pertama tidak akan dapat menggunakan uang yang dijanjikan untuk bertransaksi hingga benar-benar uang tersebut dibayar, sehingga sebenarnya pihak pertama telah kehilangan kesempatan. Dalam pandangan ibnu Taimiyah hal itulah yang menjadi alasan mengapa Rasulullah saw melarang jenis transaksi seperti ini.
5. Pencetakan Uang sebagai Alat Tukar Resmi
Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan bani Mamluk. Pada saat itu harga-harga barang ditetapkn dalam Dirham, yaitu mata uang peninggalan Bani Ayyubi. Karena desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan lebih kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari tembaga yang disebut dengan Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi besar, dan Fulus digunakan untuk transaksi-transaksi dalam nilai kecil. Inilah yang kelak kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus dalam jumlah sangat besar dengan nilai nominal yang melebihi kandungan tembaganya (instrinsic value).
Akibatnya kondisi perekonomian semakin memburuk, karena nilai mata uang menjadi turun. Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata uang tersebut. Ibnu Taimiyah berpendapat , bahwa Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proposional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
6. Implikasi Penerapan Lebih dari Satu Standar Mata Uang
Sultan Kitbugha menetapkan bahwa nilai fulus ditentukan berdasarkan beratnya, dan bukan berdasarkan nilai nominalnya. Namun pencetakan fulus dalam jumlah besar masih dilakukan oleh Sultan Dzahir Barquq dengan mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa. Di tengah penggunaan fulus secara luas pada masyarakat, pada saat yang bersamaan penggunaan dirham semakin sedikit dalam kegiatan transaksi. Dirham semakin menghilang dari peredaran dan inflasi semakin melambung yang ditandai dengan semakin meningkatnya harga-harga produk. Dampak pemberlakuan fulus sebagai mata uang resmi adalah terjadinya kelaparan sebagai akibat inflasi keuangan yang mendorong naiknya harga. Persoalan kelaparan ini di ungkapkan oleh Maqrizi dalam kitabnya Ightsatul Ummah bi Kayfi al-Ghummah.
Dirham juga mengalami perubahan komposisi kandungan pada zaman pemerintahan Nasir. Satu Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Pada saat pemerintahan di bawah cucu Nasir, yaitu Nasir Hasan (1358 M) pemerintah menetapkan keputusan bahwa fulus yang sedang beredar di masyarakat dinyatakan tidak berlaku lagi, dan pemerintah mengeluarkan mata uang baru sebagai penggantinya. Merespon berbagai kebijakan uang yang dilakukan oleh penguasa pada saat itu, Ibnu Taimiyah menyatakan, Apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai mata uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki.
D. RELEVANSI PEMIKIRAN DENGAN ZAMAN SEKARANG
Pertama, menurut Ibnu Taimiyah, naik turunnya harga bukan saja dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan tetapi ada factor-faktor yang lain. Pernyataan ini sangat sesuai dengan keadaan saat ini bahwa harga sering kali berubah-ubah karena sebab selain permintaan dan penawaran, misalnya karena disebabkan oleh kenaikan pajak, harga bahan baku, pendapatan masyarakat, dll.
Kedua, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa harga yang setara adalah harga yang dibentuk oleh kekuatan
pasar yang berjalan secara bebas, yakni pertemuan antara kekuatan permintaan dengan penawaran. Keadaan ini masih terjadi saat ini bahwasanya terjadinya harga yang adil ketika penawaran sesuai dengan permintaan, maka pasar akan berjalan dengan baik.
Ketiga, Ibnu Taimiyah menafsirkan hadist tentang regulasi harga, bahwa kasus tersebut merupakan kasus yang khusus dan bukan kasus yang umum. Menurutnya, harga naik karena kekuatan pasar, bukan karena ketidaksempurnaan pasar tersebut. Dalam teori ini pada zaman sekarang masih terjadi namun sudah tidak begitu berpengaruh, karena pemerintah tidak lagi ikut campur dalam urusan harga di pasar.
Keempat, Dalam hal uang, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa fungsi utama uang adalah sebagai alat pengukur nilai dan sebagai media untuk memperlancar pertukaran barang. Teori ini sangat sesuai dan tetap berlaku sampai sekarang, karena memang uang sebagai alat ukur dan memperlancar pertukaran barang.
Kelima, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proposional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka. Keadaan saat pada masa Ibnu Taimiyah dulu masih menggunakan emas dan perak sebagai mata uang karena harga dari emas dan perak terlalu tinggi untuk dijadikan uang. Sehingga Ibnu Taimiyah mengusulkan untuk membuat uang dari selain emas dan perak. Sampai sekarang pun tidak ada lagi uang yang terbuat dari emas dan perak, namun tetap terjaga kualitasnya sebagai alat tukar yang sah tanpa harus mengeluarkan modal yang banyak untuk mencetak uang itu sendiri.
Dan yang terakhir yang keenam, Ibnu Taimiyah menyatakan apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai mata uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki. Pada masa sekarang sudah tidak ditemukan lagi kejadian yang membatalkan mata uang tertentu karena mata uang suatu Negara sudah mutlak adanya, jadi tidak ada lagi pergantian mata uang yang menimbulkan kerugian bagi orang yang kaya.
Chamid, Nur. 2010. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Rivai, Veithzal, Andi Bukhari. 2009. Islamic Ekonomics Syariah Bukan Opsi Tetapi Solusi. Jakarta. Bumi Aksara.
Karim, Adiwarman A. 2011. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
A-Qhardhawi, Yusuf. 1993. Fiqhal-Zakah. Beirut. Muasasah al-Risalah.
Asy-Syarafa, Ismail. 2002. Ensiklopedi Filsafat. Jakarta. Khalifa.
0 komentar:
Posting Komentar