EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch

RussianPortugueseJapaneseKoreanArabic Chinese Simplified

Selamat Datang di Websiteku | Sebuah web yang berisikan segudang Ilmu yang bermanfaat silahkan baca Tulisan Inspiratif Yang semoga saja dapat memberikan Ilmu dan pemahaman baru bagi para pembaca | Jangan Lupa Like dan Tinggalkan Pesan Anda Pada Kotak Pesan Disamping Kanan |

Kamis, 04 Desember 2014

Makalah KEHUJAHAN IJMA

KEHUJAHAN IJMA
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’
Ijma' secara bahasa : (ﻕﺎﻔﺗﻻﺍﻭ ﻡﺰﻌﻟﺍ) “Niat yang kuat dan Kesepakatan.”
Dan secara istilah :
Menurut Jumhur Ulama’, Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid kaum muslimin yang disesuaikan dengan masa setelah nabi wafat.
Menurut Ulama Ushul Fiqih, Ijma’ adalah ketetapan banyak ijtihad muslimin dalam menetapkan hukum syar’i pada masa setelah wafat rasulullah.
Menurut Imam Al-Ghazali, Ijma’ adalah ketetapan umat Muhammad secara khusus dalam masalah agama. Maka keluar dari perkataan kami : (اتفاق) “kesepakatan” : adanya khilaf walaupun dari satu orang, maka tidak bisa disimpulkan sebagai ijma’.
Dan keluar dari perkataan kami : (مجتهدي) “Para mujtahid” : Orang awam dan orang yang bertaqlid, maka kesepakatan dan khilaf mereka tidak dianggap.
Dan keluar dari perkataan kami : (هذه الأمة) “Ummat ini” : Ijma’ selain mereka (ummat Islam), maka ijma’ selain mereka tidak dianggap.
Dan keluar dari perkataan kami : (بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم) “Setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Kesepakatan mereka pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak dianggap sebagai ijma’ dari segi keberadaannya sebagai dalil, karena dalil dihasilkan dari sunnah nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dari perkataan atau perbuatan atau taqrir (persetujuan), oleh karena itu jika seorang sahabat berkata : “Dahulu kami melakukan”, atau “Dahulu mereka melakukan seperti ini pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “, maka hal itu marfu’ secara hukum, tidak dinukil sebagai ijma’.

Dan keluar dari perkataan kami : (على حكم شرعي) “terhadap hukum syar’i” : Kesepakatan mereka dalam hukum akal atau hukum kebiasaan, maka hal itu tidak termasuk disini, karena pembahasan dalam masalah ijma’ adalah seperti dalil dari dalil-dalil syar’i.
Jadi dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ijma’ adalah Kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Nabi Shallaullahu 'alaihi wa sallam terhadap suatu hukum syar'i mengenai suatu peristiwa.

B. Sebab Ijma’ menjadi hujjah
Ada beberapa pendapat para ulama berkaitan dengan ke-hujjah-an ijma’. Al-Bardawi berpendapat bahwa orang-orang Hawa tidak menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah, bahkan dalam syarah-nya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara mutlak.
Menurut Al-Amidi, para ulama telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah yang wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan Syi’ah, Khawarij, dan Nizam dari golongan Mu’tazilah. Al-Hajib berkata bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam, Khawarij, dan Syi’ah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab Qawa’idul Ushul dan Ma’aqidul Ushul dikatakan bahwa ijma’ itu hujjah pada setiap masa. Namun, pendapat itu ditentang oleh Daud yang mengatakan bahwa ijma’ itu hanya terjadi pada masa sahabat. Ijma' umat atas sesuatu bisa jadi benar dan bisa jadi salah, jika benar maka ia adalah hujjah, dan jika salah maka bagaimana mungkin umat yang merupakan umat yang paling mulia disisi Allah sejak zaman Nabinya sampai hari kiamat bersepakat terhadap suatu perkara yang batil yang tidak diridhoi oleh Allah? Ini merupakan suatu kemustahilan yang paling besar.
Kehujjahan ijma’ juga berkaitan dengan jenis ijma’ itu sendiri, yaitu sharih dan sukuti.
1. Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih merupakan hujjah secara qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka ia menjadi hukum qath’i yang tidak boleh ditentang, dan menjadi masalah yang tidak boleh di-ijtihadi lagi.
Adapun ijma’ dikatakan hujjah, sebagaimana halnya Allah ta’ala memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menaati Allah dan Rasul-Nya, juga memerintahkan untuk menaati para pemimpin mereka yang berkuasa, yaitu dalam firman-Nya:
Pertama:

                              
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(An-Nisa: 59)
Lafazh “amri” (urusan) mencakup kepada urusan agama dan keduniaan dan lafazh “ulil amri” (pemegang urusan) mencakup kepada pemegang urusan duniawi, seperti kepala Negara, anggota perwakilan rakyat, para menteri dan lain sebagainya dan mencakup pemegang urusan din (agama), seperti para mujtahid, para mufti dan para ulama.
Ayat di atas adalah bahwa adanya pertentangan merupakan syarat dikembalikannya permasalahan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, syarat tersebut tidak akan ada bila telah terjadi kesepakatan terhadap hukum yang diambil dari Kitab dan Sunnah. Oleh sebab itu tidak diragukan lagi bahwa ijma’ itu merupakan hujjah.
Adapun firman Allah yang kedua yaitu:                             •     Artinya:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri)[323]. kalau tidaklah Karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”.

[322] ialah: tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan di antara mereka. [323] menurut Mufassirin yang lain maksudnya ialah: kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan ulil Amri, tentulah Rasul dan ulil amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.
Dalam ayat lain, Tuhan mengancam orang yang melawan Rasul dan menjalani jalan yang nukan jalan orang-orang mukmin sebagai orang-orang yang tersesat dan akan dimasukkan ke dalam neraka jahannam, dalam firman-Nya:
      •           •   •  Artinya:
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(An-Nisa : 115)
Ayat ini menunjukan bahwa jalan oaring-orang yang tidak beriman itu adalah bathil dan haram diikuti. Sebaliknya jalan orang-orang mukmin adalah hak dan wajib diikuti. Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
Masih banyak lagi firman-firman Allah yang berkaitan dengan kehujjahan ijma’ yang digunakan oleh jumhur ulama, misalnya dalam surat Al-Baqarah ayat 143, Ali-Imran ayat 103 dan 110, serta surat An-Nisa’ ayat 48.

Kedua:
Bahwa hukum yang telah mendapatkan perspakatan dari seluruh mujtahid muslimin pada hakikatnya adalah hokum umat Islam seluruh dunia yang tercermin pada para mujtahid.
Banyak hadis-hadis yang menunjukan terpeliharanya umat Islam dari kesalahan bila bersepakat dalam suatu perkara, diantaranya hadis-hadis di bawah ini yang artinya:
 “Kekuatan Allah berada pada jama’ah, barang siapa menguatkannya, maka ia telah menyempitkan dirinya dari neraka.”
 “Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkannya ijma’ dalam kesesatan.”
 “Tidak akan berkumpul ijma’ pada hal yang salah.” (Rw. Ibnu Majah)
 “Tidak akan melihat kaum mukmin kepada kebaikan, kecuali Allah pun menganggapnya baik.” (Rw. Ahmad)
Semua hadis di atas diriwayatkan oleh para perawi tsiqat, meskipun ada sebagian yang meerupakan hadis ahad, namun bisa dikategorikan hadis mutawatir, yakni menjaga ijma’ Islam dari kesalahan. Sedangkan mutawatir ma’nawy pada hakikatnya sama dengan mutawatir lafdzi.

Ketiga:
Ijma’ terhadap hukum syara’ harus dibina di atas sandaran syari’at. Sebab setiap mujtahid muslim terikat oleh ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilampauinya. Jelasnya, jika di dalam menjalankan ijtihad dia mendapati suatu nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui pemahaman nash itu dan dia harus mengetahui benar-benar apa yang ditunjuknya. Akan tetapi, jika dalam kejadian yang di ijtihadkan tidak ada nash-nya, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui cara pengistimbatan (pemetikan) suatu hukum. Ia dituntut untuk mengqiyaskannya kepada yang ada nash-nya atau menyesuaikannya dengan kaidah-kaidah syari’ah dan dasar-dasar hukum umum atau dengan menggunakan dalil-dalil yang ditegakkan oleh syari’at, seperti istihsan, istishhab, memelihara ‘uruf dan Mashalihul mursalah.
Apabila ijtihad seorang mujtahid itu harus disandarkan kepada dalil syar’i, maka persetujuan seluruh mujtahid terhadap suatu macam hukum dari suatu peristiwa adalah merupakan suatu bukti adanya sandaran syari’at yang menunjuk secara qath’i atas hukumnya. Sebab andai kata yang mereka jadikan sandaran itu dalil-dalil zhanni, niscaya mustahillah menurut adat tercapai suatu persepakatan.

2. Ijma’ sukuti telah dipertentangkan ke-hujjah-annya dikalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah, bahkan tidak menyatakan sebagai ijma’. Di antara mereka adalah para pengikut Maliki dan Imam Syafi’i yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka beragumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa juga tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’i atau zhanni. Jika demikian itu adanya, tidak bisa dikatakan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ atau dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golongan Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah yang qath’i seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya. Bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka sehingga bisa dikatakan sebagai ijma’, karena kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qath’i karena alasannya juga menunjukan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.
Al-Kurhi dari golongan Hanafi dan Al-Amidi dari golongan Syafi’i menyatakan bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah yang bersifat zhanni. Pendapat merekalah yang kita anggap baik. Karena diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan pendapatnya kalau memenuhi syarat ijma’ sukuti tidak bisa dikatakan sebagai kesepakatan terhadap para mujtahid lainnya. Tetapi boleh dikatakan bahwa diamnya mereka itu antara menyepakati dan tidak. Sikap tersebut sebagai mana telah dilakukan oleh kaum ulama Salaf. Mereka tidak melarang untuk menyatakan haq meskipun tidak mampu melaksanakan dan ada sebagian yang mengingkarinya.
Bila diamnya sebagian mujtahid tidak bisa dikatakan sebagai ketetapan qath’i, tetapi zhanni, maka ke-hujjah-an ijma’ sukuti tidak bisa dikatakan qath’i, melainkan zhanni.


C. Alasan Sebagian Ulama Berpendapat bahwa Ijma’ bukan Hujjah
Al-Nazham, sebagian Mu’tazilah dan Syi’ah berpendapat bahwa ijma’ bukan hujjah, dengan alasan: a. Setiap individu mujtahid itu mungkin saja tersalah dan hal ini bisa juga terjadi dalam jama’ah mereka. Penggabungan satu dengan lainnya yang mungkin tersalah itu tidak mustahil memungkinkan menjadikan mereka menjadi salah juga.
b. Firman Allah yang memerintahkan taat kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri itu menunjukan bahwa adanya perintah pengembalian urusan yang disengketakan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Karena itu, jika fuqaha generasi sesudahnya, maka wajib mengembalikan permasalahannya kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulnya. Oleh karena itu, ijma’ generasi terdahulu itu, tidak menjadi hujjah terhadap genarasi sesudahnya. Karena itu pula argumentasi Jumhur tentang kehujjahan ijma’ dengan ayat ini dan bahwa kesepakatan itu tidak perlu kembali kepada Kitab dan Sunnah adalah tidak benar karena adakalanya kesepakatan mujtahid itu terjadi dalam hukum yang mereka perselisihkan, sehingga mau tidak mau harus dikembalikan kepada Kitab dan Sunnah.
c. Mu’az bin Jabal ketika diutus Rasulullah ke Yaman tidak menyebutkan ijma’ diantara dalil-dalil tempat rujuknya dalam memutuskan hukum, sementara pernyataan Mu’az itu diakui oleh Rasul. Yang demikian menunjukan bahwa ijma’ bukan menjadi hujjah.
Selanjutnya, mereka menolak semua argumentasi yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama, dengan alasan sebagai berikut:
a) Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 115 yang artinya; “….Dan mengikuti jalan yang jalan bukan orang mukmin….”
Bahwa yang dimaksud dengan “bukan jalan orang mukmin itu seperti yang dikatakan oleh Ibn Hazmin, ialah tidak menaati Al-Qur’an dan Sunnah yang sah dari Rasul.” Jadi, ia tidak menunjukan tentang kehujjahan ijma.’
b) Semua hadis yang dipegang oleh Jumhur itu adalah hadis ahad yang tidak menghasilkan keyakinan tentang kehujjahan ijma’. Sekiranya diterima atas dasar mutawatir maknanya, maka ia ditempatkan untuk terpeliharanya umat dari kesalahan dan kesesatan dalam menyepakati kekufuran dan menyalahi dalil qath’i saja. Hal ini mengingat bahwa terdapat hadis Nabi yang menunjukan bahwa kesalahan itu bisa terjadi dalam umat, yaitu sabda Nabi SAW yang artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu itu dengan mencabutnya dari para hamba, tetapi Ia mencabut melalui kematian Ulama, sehingga bila tidak ada lagii orang alim, maka manusia pun mengangkat orang jahil menjadi pemimpinnya. Mereka bertanya dan si pemimpin pun memberika fatwa tanpa pengetahuan, yang akibatnya mereka menjadi sesat dan si pemimpin merupakan pembuat (pokok pangkal timbulnya )kesesatan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sebenarnya, semua dalil/argumentasi Jumhur tentang kehujjahan ijma’ tidak satupun yang qath’i dilalahnya, karena baik ayat maupun hadis tidak qath’i dilalahnya terhadap kehujjahan ijma’ dan tidak pula secara tegas tentang itu.
Asy-Syaukani berkomentar bahwa suatu keanehan di kalangan fuqaha bila mereka menetapkan kehujjahan ijma’ dengan keumuman (zhanni) ayat dan hadis, lalu mereka ijma’ bahwa orang yang mengingkari terhadap apa yang dicakup keumuman tersebut tidak kafir dan tidak pula fasik bilamana keingkaran itu memepunyai ta’wil. Kemudian mereka mengatakan bahwa hukum yang disimpulkan ijma’ adalah qath’i yang mengakibatkan kafir dan fasiknya orang yang menyalahi ijma’ itu. Seolah-olah mereka menempatkan yang cabang lebih utama daripada yang pokok.

D. Syarat-syarat Ijma’ dikatakan Hujjah
Ijma’ dikatakan Hujjah apa bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Kata sepakat terhadap suatu pendapat telah dicapai oleh dari umat islam. Jika yang sepakat itu bukan para mujtahid, misalnya para ekonomi, maka kesepakatan mereka itu bukan ijma’. 2. Seluruh mujtahidin dari umat Islam telah mencapai kata sepakat terhadap suatu pendapat. Oleh sebab itu bila yang sepakat hanya mujtahid dari suatu kelompok umat Islam, atau dari suatu wilayah atau satu Negara Islam saja, maka kesepakatan mereka bukan ijma’. Jika demikian jika masih ada sebagian mujtahidin yang tidak sepakat, maka tidak terjadi pula ijma’, namun ada sebagian pendapat ulama yang menyatakan bahwa ijma’ terjadi dengan kesepakatan mayoritas mujtahidin walaupun ada sebagian kecil yang menentangnya.
3. Bahwa yang disepakati oleh para mujtahidin ialah hukum syara’ mengenai masalah ijtihadiyah, seperti halal dan haramnya sesuatu atau sah dan batalnya sesuatu. Dengan demikian, jika yang mereka sepakati itu bukan hukum agama seperti hukum ekonomi misalnya, atau hukum agama tetapi bukan masalah ijtihadiyah seperti hal ihwal akhirat atau hukum agama tentang masalah ijtihadiyah tetapi hukumnya ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’i, maka kesepakatan mereka tentang masalah-masalah tersebut diatas tidaklah disebut ijma’.
4. Ijma’ hanya terjadi sesudah Nabi wafat, karena pada waktu Nabi masih hidup, jika Nabi menyetujui apa yang mereka sepakati, maka persetujuan mereka Nabi itu menjadi sunah taqririyah.
DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Rachmat. 1999, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia

Khallaf, Abdul Wahab. 1994, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang, Dina Utama

Rozin, Musnad, 2012, Ushul Fiqih, STAIN Jurai Siwo, Metro

Uman, Chaerul, dkk. 2004. Ushul Fiqih 1. Bandung. Pustaka Setia.

Abdullah, Sulaiman. 1996. Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta. Pedoman Ilmu Jaya. Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Wacana Ilmu

Hanafi, Ahmad. 1975. Ushul Fiqh. Jakarta. Widjaya Jakarta.

Yahya, Mukhtar. 1986. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami. Bandung. Al-Ma’arif cet. 1 Abidin, Zainal Ahmad. 1975. Ushul Fiqh. Jakarta. Bulan Bintang.
Effendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta. Prenada Media Group.

Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amir. 2005. Kamus Ushul Fiqh. Jakarta. Penerbit Amzah. www.google.wikipwedia.UshulFiqh.com

0 komentar:

Posting Komentar