EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch

RussianPortugueseJapaneseKoreanArabic Chinese Simplified

Selamat Datang di Websiteku | Sebuah web yang berisikan segudang Ilmu yang bermanfaat silahkan baca Tulisan Inspiratif Yang semoga saja dapat memberikan Ilmu dan pemahaman baru bagi para pembaca | Jangan Lupa Like dan Tinggalkan Pesan Anda Pada Kotak Pesan Disamping Kanan |

Selasa, 02 Desember 2014

LEMBAGA KEUANGAN DALAM AL-QUR’AN (ISLAM)

LEMBAGA KEUANGAN DALAM AL-QUR’AN
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP LEMBAGA KEUANGAN DALAM AL-QUR’AN (ISLAM)
Konsep lembaga tidak disebut secara eksplisit dalam Al-Qur’an. Namun jika yang dimaksud lembaga itu sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi serta hak kewajiban, maka semua lembaga itu disebut secara jelas. Kata-kata seperti kaum, ummat (kelompok masyarakat), muluk (pemerintah), balad (negeri), suq (pasar) dan sebagainya mengidentfiikasikan bahwa Al-Qur’an mengisyaratkan nama-nama itu memiliki fungsi dan peran tertentu dalam perkembangan masyarakat. Demikian juga konsep-konsep yang merujuk kepada ekonomi, seperti zakat, shadaqoh, fai, ghanimah, bai, dain, mall dan sebagainiya memiliki konotasi fungsi yang dilaksanakan oleh peran tertentu.

Sebagaimana halnya lembaga politik yang tidak pernah disebut bentuknya apakah itu kerajaan, republik, federal dan sebagainya, tampaknya Al-Qur’an membebaskan kaum Muslimin untuk memberi bentuk-bentuk kepada prinsip-prinsip ekonomi yang diangkat darinya, apakah itu perusahaan, bank, asuransi, dan sebagainya. Pada akhirnya lembaga-lembaga keuangan tersebut bertindak seperti individu yang bisa melakukan transaksi ekonomi antara satu dengan yang lainnya. Dalam fikih, lembaga ini disebut dengan istilah syakhsyiyah I’tibariyyah atau syakhsyiyah ma’nawiyyah. Dengan demikian, lembaga yang bertindak seperti individu ini memiliki kewajiban yang sama seperti layaknya sebuah individu, seperti membayar zakat dari keuntungan yang diperoleh dari usahanya. Di sisi lain, dalam hal akhlak, Al-Qur’an menyebutkan secara eksplisit, baik berupa kisah maupun perintah. Konsep accountability, misalnya terletak pada ayat.
Demikian pula konsep trust dengan konsep tindakan tegas (amar ma’ruf nahi munkar) dan teguran (tawsiah sabar dan kebenaran).
Al-Qur’an bahkan menjelaskan perlunya hirarki manajemen sebagai satu struktur yang rapi untuk melakukan perjuangan mencapai tujuan lembaga sebagai manifestasi kecintaan Tuhan. Ini menunjukan bahwa fungsi sebuah lembaga tidak akan berjalan jika akhlak dalam melaksanakan fungsi itu tidak sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penekanan Al-Qur’an terletak bukan pada bentuk lembaga yang merupakan bangunan dari sebuah fungsi, tetapi pada akhlak atau etika lembaga tersebut. Namun, kedua lembaga ini kita pakai dalam melihat pembentukan dan perkembangan yang terjadi pada lembaga-lembaga, terutama keuangan, dalam sejarah Islam.

B. LEMBAGA KEUANGAN DI ZAMAN RASULULLAH
Sebelum Muhammad diangkat sebagai Rasul, dalam masyarakat Jahiliyyah sudah terdapat sebuah lembaga politik semacam dewan perwakilan rakyat untuk ukuran masa itu disebut Darun Nadwah. Didalamnya para tokoh Makkah berkumpul dan bermusyawarah untuk menentukan suatu keputusan. Ketika dilantik sebagai Rasul, mereka mengadakan semacam lembaga tandingan untuk itu, yaitu Darul Arqam. Perkembangan lembaga ini terkendala karena banyaknya tantangan dan rintangan, sampai akhirnya Rasulullah memutuskan untuk hijrah ke Madinah.
Ketika beliau hijrah ke Madinah, maka yang pertama kali didirikan Rasulullah adalah masjid (Quba), yang bukan saja merupakan tempat beribadah, tetapi juga sentral kegiatan kaum Muslimin. Kemudian beliau masuk ke Madinah dan membentuk lembaga persatuan diantara para sahabatnya, yaitu persaudaraan antara para Muhajirin (Masjid Nabawi), yagn kemudian menjadi sentral pemerintah untuk selanjutnya. Pendirian lembaga dilanjutkan dengan penertiban pasar. Rasulullah diriwayatkan menolak membentuk pasar yang baru yang khusus untuk kaum muslimin, karena pasar merupakan sesuatu yang alamiah dan harus berjalan dengan sunnatullah. Demikian halnya dalam penentuan harga. Akan halnya mata uang tidak ada satupun bukti sejarah yang menunjukan bahwa Nabi menciptakan mata uang sendiri.

1. Pendirian Baitul Mal
Sesuatu yang revolusioner yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah pembentukan lembaga penyimpanan yang disebut Baitul Mal. Para penulis Muslim sendiri berbeda pendapat dalam hal fungsi Baitul Mal ini. Sebagian berpendapat bahwa Baitul Mal serupa dengan bank sentral seperti yang ada sekarang walaupun tentunya lebih sederhana karena berbagai keterbatasan pada waktu itu. Untuk sebagian yang lain , Baitul Mal berfungsi seperti Menteri Keuangan atau Bendahara Negara masa kini, karena fungsinya yang aktif dalam menyeimbangkan antara pendapatan dan belanja Negara, bukan hanya sekedar berfokus kepada pengaturan suplai dan moneter. Tetapi seiring dengan keperluan zaman kedua fungsi ini kemudian dilaksanakan.

2. Wilayatul Hisbah
Konsep yang sama sekali baru adalah system pengawasan atau kontrol oleh Negara yang pada zaman Rasulullah dipegang sendiri oleh beliau. Ini sejalan dengan apa yang ada pada zaman modern disebut enforcement agency. Beberapa waktu kemudian konsep pengawasan ini terkenal dengan sebutan Wilayatul Hisbah. Konsep ini merupakan preseden baru, mengingat pada zaman itu dimensi pengontrolan di kerajaan-kerajaan sekitar Laut Tengah tidak ada sama sekali. Diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah menegur seseorang yang menjual kurmanya dengan harga yang berbeda di pasar. Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah menolak permintaan para sahabatnya agar menentukan harga yang layak bagi kaum muslimin karena harga-harga yang ada dipasar terlalu tinggi.
Pilar infrastruktur yang satu ini barangkali yang terpenting menurut perspektif ekonomi dari sekian pilar yang ada, karena ini merupakan bingkai bagi aktivitas-aktivitas ekonomi dan muamalat. Dengan kata lain, aktivitas muamalat pada zaman itu tidak akan berhasil tanpa pemeliharaan law and order.

3. Pembangunan Etika Bisnis
Penting untuk disebut disini bahwa Rasulullah tidak saja meletakan dasar tradisi penciptaan suatu lembaga, tetapi juga membangun sumber daya manusia dan akhlak (etika) lembaga sebagai pendukung dan prasyarat dari lembaga itu sendiri. Kelembagaan pasar misalnya, tidak akan berjalan dengan baik tanpa akhlak dan etika yang diterapkan.
a. Penghapusan riba
Walaupun basic infrastructure telah berhasil dibangun, namun kondisi Madinah masih belum lagi kondusif untuk pembangunan sector ekonomi terutama public economics. Keberadaan para Yahudi dengan praktik ribanya membuat penduduk Madinah resah, karena sering kali perbuatan mereka itu mencekik leher. Untuk Nabi sendiri praktik ini seudah beliau ketahui sejak masih berada di Makkah, karena ayat-ayat yang turun di Makkah ada yang menceritakan praktik kotor orang Yahudi tersebut. Penghapusan riba ini terbukti berhasil menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk tumbuhnya ekonomi secara cepat. Jika pada masa hijrah, Madinah merupakan kota yang miskin, tetapi ketika Nabi Muhammad meninggal, Madinah merupakan kota baru yang tumbuh dan berkembang menghidupi daerah-daerah sekitarnya.
b. Keadilan
Dalam setiap kebijakan ekonomi Nabi mementingkan keadilan yang bukan saja berlaku untuk kaum Muslimin, tetapi juga berlaku untuk kaum lainnya sekitar Madinah. Terbukti ketika diminta untuk menetapkan harga, Rasulullah marah dan menolaknya. Ini membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW menyerahkan penetapan harga itu pada kekuatan pasar yang alami (bukan karena monopoli atau proteksi).
c. Monopoli
Monopoli merupakan kejahatan pasar yang tidak pernah dimaafkan oleh siapapun. Ini sudah dilarang oleh Nabi Muhammad saw sejak abad ke 14 yang lalu. Demikian pula sebaliknya, yang monopsoni. Kedua hal ini bertentangan dengan kebijakan ekonomi muamalah gaya Rasulullah yang mementingkan keadilan.
d. Prinsip dan Etika Bisnis Lainya
Selain hal diatas, Rasulullah juga menganjurkan agar setiap perdagangan senantiasa berpegang kepada sifat-sifat yang terpuji. Hal ini bukan saja akan menguntungkan perdagangannya sendiri, tidak punya konsekuensi religious. Beliau berkata: “Pedagang yang jujur dan amanah akan berada di syurga bersama para nabi, syuhada dan orang-orang saleh.”

C. LEMBAGA KEUANGAN ZAMAN KHULAFA RASYIDIN
Baitul Mal semakin mapan bentuknya pada zaman khalifah Umar bin Khattab. Pada masanya system administrasi dan pembentukan dewan-dewan dilakukan untuk ketertiban administrasi. Umar juga meluaskan basis zakat dan sumber pendapatan lainnya. Dilain pihak, ia juga snagat memperhatikan kesejahteraan kaum muslimin sehingga terlahir ucapannya yang terkenal, bahwa jika ada keledai yang terperosok di Iraq ia akan ditanya oleh Tuhan mengapa ia tidak meratakan jalan tersebut. Umar juga terkenal dengan keadilan dan ketelitiannya sehingga pengawasan menjadi lembaga berwibawa di bawah pemerintahannya. Ia turun sendiri apakah mekanisme pasar berjalan dengan semestinya, menegur orang yang berusaha mencari keuntungan dengan cara yang tidak benar dan memberi selamat kepada para pedagan yang jujur. Umar memberlakukan apa yang disebut dalam dunia perdagangan internasional jaman ini sebagai principle of reciprocity, dengan memberlakukan kuota kepada para pedagang yang datang dari Persia dan Romawi, karena kedua Negara itu memberlakukan hal yang sama kepada para pedagang di Madinah.
Namun kebijakan fiscal Umar yang paling popular dan mendapat kritikan pedas dari para sahabat adalah bahwa ketika Iraq ditaklukan tentara muslimin, ia tidak membagikan tanah rampasanya itu kepada tentara muslimin sebagaimana biasanya, melainkan membiarkan di tangan penduduk setempat dan memungut kharaj dari para penduduk itu. Kebijakan Umar tersebut diteruskan oleh Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khalifah-khalifah berikutnya. Yang patut dicatat dalam periode ini adalah bahwa para khlifah rasyidin itu amat serius dalam memikirkan kesejahteraan rakyat dengan memfungsikan secara maksimal pendapatan dan penerimaan dalam Baitul Mal. Fungsi Baitul Mal sebagai instrument dalam kebijakan fiscal ini tentu hanya dapat terlaksana dengan pribadi-pribadi yang jujur dan amanah tersebut.

D. LEMBAGA KEUANGAN DI ZAMAN DINASTI-DINASTI
Dinasti Umawiyah di Damaskus berakhir dengan naiknya dinasti Abassiyah. Sepanjang dinasti ini terjadi perubahan pola-pola ekonomi yang menyebabkan karena adanya kebijakan dari salah satu khalifahnya untuk menciptakan standar uang bagi uang emas dan perak, serta mencampurkannya dengan logam yang lebih rendah. Dengan demikian, sebenarnya sejak saat itu fungsi Baitul Mal telah bertambah, yang tadinya hanya mengeluarkan kebijakan fiscal, kini juga mengatur kebijakan moneter. Sedangkan kebijakan fiscal telah dikembangkan bahkan secara ilmiah dengna munculnya kitab-kitab seperti Khitabul Kharaj-nya Abu Yusuf dank ITABUL Amwal-nya Qadamah bin Ja’far. Pada jaman keemasan dinasti ini, fungsi Baitul Mal telah merambah kepada pengeluaran untuk riset ilmiah dan penerjemahan buku-buku Yunani, selain untuk biaya pertahanan dan anggaran rutin pegawai. Pada masa pemerintahan Abasiyah mulai ada orang yang mimiliki keahlian di bidang keuangan, yang disebut dengan jihbiz. Ada perbedaan dan persamaan antara jihbiz dengan perbankan, yaitu:
Persamaanya, jihbiz dan bank sama-sama melakukan fungsi berikut:
1. Menerima simpanan dana masyarakat.
2. Memberikan pembiayaan kepada masyarakat.
3. Melakukan transfer uang.
Sementara perbedaanya adalah sebagai berikut:
1. Jihbiz dikelola oleh individu.
2. Bank dikelola oleh institusi.
Runtuhnya Dinasti Usmaniyah di Turki menandakan menangnya kolonialisme di negeri-negeri Islam, baik secara fisik maupun pikiran. Karena itu, meskipun kemudian negeri-negeri Islam merdeka dari penjajah, nama Baitul Mal tidak pernah muncul lagi, padahal fungsinya dalam Negara tetap dilaksanakan
E. LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH MODERN
Hal penting yang perlu dicermati dalam sepanjang sejarah Islam, sejak zaman Rasulullah sampai Turki Usmani, adalah lembaga keuangan yang pernah ada yang ada pada zaman itu hanyalah dimiliki pemerintah. Sementara kegiatan bisnis dilakukan secara perorangan. Lembaga bisnis dengan struktur organisasi yang dikenal seperti jaman sekarang ini belum dikembangkan. Karena itu, kita dapati semua transaksi yang dijelaskan dalam fikih klasik menjelaskan hubungan kontrak bisnis antar individu.
Meskipun sejak tahun 1940-an satu per satu negeri Muslim mulai merdeka dari jaman penjajahan, namun arahnya pembentukan sebuah Negara Islam dengan pelaksanaan syariat Islam mengalami banyak kendala. Diantaranya karena paham nasionalisme sekuler yang ditanamkan oleh para penjajah dan dijadikan alat perjuangan oleh penduduk negeri-negeri muslim itu kini menjadi boomerang. Umumnya para pemimpin yang muncul pasca penjajahan adalah pemimpin yang sebelumnya dididik dengan pemahaman sekuler, sehingga tidak melihat kaitan agama dengan Negara dalam membina masyarakat. Agama dipahami sebagai urusan individu, sedangkan yang berusaha dengan social politik agama tidak boleh ikut campur.
Hal ini dipahami karena pemahaman agama dalam dunia barat tempat mereka belajar adalah tradisi Judeo-Kristian yang telah terkalahkan oleh pemikiran sekuler. Para pemimpin pasca penjajahan inilah yang kemudian menjadi penghalang bagi bangkitnya kembali politik Islam.
Gerakan lembaga keuangan Islam modern dimulai dengan didirikannya sebuah bank dengan simpanan local (local saving bank) yang beroperasi tanpa bunga di desa Mit Ghamir, ditepi Sungai Nil, Mesir pada tahun 1969 oleh Dr. Abdul Hamid An-Nagar. Walaupun beberapa tahun kemudian tutup karena masalah manajemen, bank local ini mencatat sejarah yang amat berarti, karena mengilhami konferensi ekonomi Islam pertama di Mekkah pada tahun 1975. Dan dua tahun kemudian lahir Bank Pembangunan Islam (IDB) yang merupakan tindak lanjut dari rekomendasi yang lahir dari konferensi tersebut. Setelah itu muncul bank-bank komersial yang trnasaksi-transaksinya didasarkan pada ajaran Islam.
Bila diperhatikan, bank-bank komersial didirikan dengan berbagai latar belakang, diantaranya isu tentang bunga, yang tidak pernah dikenal dalam sejarah Islam. Sebagian ada yang karena factor politik dan sebagian lagi disebabkan keperluan akan pembangunan masyarakat muslim vis a vis masyarakat maju. Tetapi semua merupakan inovasi dari yang lazim berlaku dalam sejarah Islam klasik, yaitu bahwa kegiatan bisnis dilakukan oleh individu sedangkan keuangan (Baitul Mal) ditangani oleh Negara.
Munculnya bank-bank swasta Islam baik tingkat desa maupun internasional, diiringi dengan keperluan akan lembaga-lembaga pendukungnya seperti asuransi. Karena itu biasanya jika ada ban Islam disuatu Negara, maka muncul pula asuransi Islam (takaful). Tetapi tidak sampai disitu saja. Karena pada saat bersamaan pula muncul keperluan akan adanya pasar modal yang islami. Oleh karena itu, fund manager-fund manager Islam dengan criteria investasi yang sesuai dengan syari’at Islam. Langkah ini ternyata bukan hanya dilakukan oleh kaum muslimin saja, tetapi juga oleh orang lain. Baru-baru ini Dow Jones misalnya mengeluarkan apa yang disebut dengan Islamic Index yang memuat indeks saham yang diperdagangkan secara Islam.

0 komentar:

Posting Komentar