BAB II
KHULAFAUR RASYIDIN
A. ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ (11-13 H/632-634 M)
Abu Bakar, nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa At-Tamimi. Di zaman pra islam bernama Abdul Ka’bah, kemudian diganti oleh nabi menjadi Abdullah. Ia termasuk salah seorang sahabat yang utama. Dijuluki Abu Bakar karena dari pagi-pagi betul (orang yang paling awal) memeluk Islam. Gelar Ash-Shiddiq diperolehnya karena ia dengan segera membenarkan nabi dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’ Mi’raj. Seringkali mendampingi rasulullah disaat penting atau jika berhalangan, Rasulullah mempercayainya sebagai pengganti untuk menangani tugas-tugas keagamaan dan atau mengurusi persoalan-persoalan actual di Madinah.
Hal menarik dari Abu
Bakar, bahwa pidato inaugurasi yang diucapkan sehari setelah pengangkatannya,
menegaskan totalitas kepribadian dan komitmen Abu Bakar terhadp nilai-nilai
Islam dan strategi meraih keberhasilan tertinggi bagi umat sepeninggal
Rasulullah. Kutipan pidato Abu Bakar yang terkenal itu adalah sebagai berikut:
Wahai manusia! Aku
telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang
terbaik di antaramu. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik,
bantulah (ikutilah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah! Orang
yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari
padanya. Sedangkan orang yang orang yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat
sampai aku dapat mengembalikan haknya kepadanya. Maka hendaklah kamu taat
kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bilamana aku tiada
mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidaklah perlu menaatiku?[1]
Abu Bakar memangku
jabatan khalifah selama dua tahun lebih sedikit yang dihabiskannya terutama
uuntuk mengatasi berbagai masalah dalam negeriyang muncul akibat wafatnya nabi.
Terpilihnya Abu Bakar telah membangun kembali kesadaran dan tekad umat untuk
bersatu melanjutkan tugas mulia nabi. Ia menyadari bahwa kekuatan kepemimpinannya bertumpu pada
komunitas yang bersatu ini, yang pertama kali menjadi perhatian khalifah adalah
merealisasikan keinginan nabi yang hamper tidak terlaksana, yaitu mengirimkan
ekspedisi ke perbatasan Suriah di bawah pimpinan Usamah. Hal tersebut dilakukan
untuk membalas pembunuhan ayahanda, Zaid, dan kerugian yang diderita oleh umat
Islam dalam perang Mu’tah. Sebagian sahabat menentang keras rencana ini, tetapi
khalifah tidak peduli. Nyatanya ekspedisi itu sukses dan membawa pengaruh
positif bagi umat Islam, khususnya di dalam pembangkitan kepercayaan diri
mereka yang nyaris pudar.
Wafatnya nabi
mengakibatkan beberapa masalah bagi masyarakat muslim. Beberapa orang Arab yang
lemah imannya justru menyatakan Murtad, yaitu keluar dari Islam. Mereka
melepaskan kesetiaaan dengan menolak memeberikan baiat kepada khalifah yang
baru dan bahkan menentang agama Islam, karena mereka menganggap bahwa
perjanjian-perjanjian yang dibuat bersama Muhammad dengan sendirinya batal
disebabkan kematian nabi.
Maka tidaklah
mengherankan dengan banyaknya suku arab yang melepaskan diri dari ikatan agama
islam. Mereka adalah orang-orang yang baru memasuki Islam. Belum cukup waktu
bagi nabi dan para sahabatnya untuk mengajari mereka prinsip-prinsip keimanan
dan ajaran Islam. Memang, suku-suku Arab dari padang pasir yang jauh itu telah
datang kepada nabi dan mendapat kesan mendalam tentang Islam, tetapi mereka
hanyalah setitik ari di samudera, di dalam waktu beberapa bulan tidaklah
mungkin bagi nabi dapat mengatur pendidikan atau latihan yang efektif untuk
masyarakat yang tersebar di wilayah-wilayah yang sangat luas dengan sarana
komunikasi yang sangat minim pada saat itu.
Mereka melakukan riddah,yaitu
gerakan pengingkaran terhadap Islam. Riddah berarti murtad, beralih
agama dari islam ke kepercayaan semula, secara politis merupakan pembangkangan
(distortion) terhadap lenbaga khalifah. Sikap mereka adalah perbuatan
maker yang melawan agama dan pemerintah sekaligus.
Oleh karena itu,
khalifah dengan tegas melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka.
Mula-mula hal itu dimaksudkan sebagai tekanan untuk mengajak mereka kembali ke
jalan yang benar, lalu berkembang menjadi perang perang merebut kemenangan.
Tindakan pembersihan juga dilakukan untuk menumpas nabi-nabi palsu dan
orang-orang yang enggan membayar zakat.
Selama tahun-tahun
terakhir kehidupan Nabi SAW, telah muncul nabi-nabi palsu di wilayah Arab
bagian selatan dan tengah. Yang pertama mengaku dirinya memegang peran kenabian
muncul di Yaman, ia bernama Aswad Ansi. Berikutnya adalah Musailamah Al-Kadzab, yang menyatakan bahwa
nabi Muhammad telah mengangkat dirinya
sebagai mitra (partner) di dalam kenabian. Penganggap lainnya
adalah Tulaihah dan Sajjah Ibnu Haris, seorang wanita dari Arab tengah.[2]
Adapun orang-orang yang
tidak mau membayar zakat, di antaranya karena mereka mengira bahwa zakat adalah
serupa pajak yang dipaksakan dan penyerahannya ke perbendaharaan pusat di
Madinah yang sama artinya dengan ‘penurunan kekuasaan’; suatu sikap yang tidak
disukai oleh suku-suku Arab karena bertentangan dengan karakter mereka yang
independen.[3]
Alasan lainnya adalah dan ini menempati golongan yang terbesar disebabkan
karena kesalahan memahami ayat Al-qur’an yang menerangkan mekanisme pemungutan
zakat (Surah At-Taubah:301). Mereka
menduga bahwa hanya nabi yang berhak memungut zakat, yang dengan kesalahan itu
seseorang dapat dihapus dan dibersihkan.
Penumpasan terhadap
orang-orang murtad dan para pembangkang tersebut terutama setelah mendapat
dukungan dari suku Gatafan yang kuat ternyata banyak menyita konsentrasi
khalifah, baik secara moral maupun politik. Situasi keamanan negara Madinah
menjadi kacau sehingga banyak sahabat, tidak terkecuali Umar yang dikenal keras
menganjurkan bahwa dalam keadaan yang sangat kritis lebih baik jika mengikuti
kebijakan yang lunak. Terhadap ini khalifah menjawab dengan marah: “Kalian begitu
keras di masa Jahiliah, tetapi sekarang setelah islam, kalian menjaddi lemah.
Wahyu-wahyu Allah telah berhenti dan agama kita telah memperoleh kesempurnaan.
Kini haruskah Islam dibiarkan rusak dalam masa hidupku? Demi Allah, seandainya
merek menahan sehelai benang pun (ari zakat) saya akan memerintahkan untuk
memerangi mereka,”
Dalam memerangi kaum
murtad, dar kalangan kaum muslimin banyak hafizh (penghafal Alqur’an)
yang tewas. Dikarenakan karena mereka hafizh Alquran, Umar menjadi cemas
dan khawatir jika angka kematian itu bertambah. Oleh karena itu ia menasehati
Abu Bakar untuk membuat suatu “kumpulan” Alquran. Awalnya Abu Bakar ragu Karena
tidak menerima otoritas dari nabi, tetapi kemudian ia setuju dan menugaskan
Zaid bin Tsabit. Munurut As-Suyuti, pengumpulan Alquran ini merupakan jasa
besar dari khalifah Abu Bakar.[4]
Peperangan melawan para
pengacau itu meneguhkan kembali khalifah Abu Bakar sebagai “penyelamat Islam”.
Beliau berhasil menyelamatkan Islam yang kacau dan hampir hancur pada saat itu,
beliau juga nerhasil membuat Islam kembali memperoleh kesetiaan dari seluruh
jazirah Arab. Setelah Islam kembali tertib, Abu Bakar mengalihkan perhatiannya
untuk memperkuat perbatasan dengan wilayah Persia dan Bizantium, yang akhirnya
menyebabkan peperangan terhadap keduanya.
Pergolakan besar telah
terjadi pada saat itu,tentara Islam dibawah pimpinan Musanna dan Khalid bin
Walid dikirim ke Irak dan menakhlukkan Hirah.[5]
Bangsa Romawi (Bizantium) yang memang mempunayai misi untuk menghancurkan dan
menguasai Islam bersekongkol dengan Arab pedalaman (Badui) dan mendapat
dukungan dari orang Persia untuk melawan kaum muslim. Oleh karena itu, Khalifah
mengirim pasukan besar-besaran ke Syiria yang dipimpin oleh empat panglima
sekaligus, yaitu Abu Ubaidah, Yazid bin Abu Sufyan, Amr bin Ash, dan Syurahbil,
karena umat Islam Arab memandang Syiria sebagai
bagian integral dari semenanjung Arab. Negeri itu didiami oleh oleh suku
bangsa Arab yang berbicara dengan menggunakan bahasa Arab. Dengan demikian,
baik untuk keamanan umat Islam (Arab) juga demi pertalian nasional dengan
orang-orang Syiria adalah sangat penting bagi kaum muslimin (Arab).
Ketika pasukan Islam
sedang mengancam Palestina dan Irak, Kerajaan Hirah telah meraih beberapa
kemenangan yang memungkinkan bagi mereka untuk kemenangan berikutnya. Khalifah
Abu Bakar meninggal dunia pada hari Senin, 23 Agustus 624 M setelah lebih
kurang 15 hari terbaring ditempat tidur. Beliau wafat pada usianya yang ke 63
tahun dan kekhalifahannya berlangsung 2 tahun 3 bulan 11 hari.
Masa Khalifah
Umar bin Khatab
Ketika pemerintahan berada di
tangan Umar bin Khaththab dan wilayah negara Islam bertambah luas,
mencapai wilayah kekaisaran Romawi di Barat dan Persia di timur, sumber
penghasilan negara pun tidak terbatas pada zakat dan ghanimah, namun telah
merambah pada pajak dan jizyah (pajak orang-oranf kafir). Maka beliau pun
melakukan pengaturan sumber keuangan negara tersebut dengan mendirikan lembaga
yang bernama Baitul Mal. Sebagai lembaga pembendaharaan Negara, Baitul Mal
melakukan pencatatan jenis-jenis sumber dana yang masuk dan pengeluarannya,
seperti pembayaran gaji pegawai, baik sipil maupun militer dan pembiayaan
negara yang lain.[6]
Menurut Ibnu Kaldun, Khalifah Umar
bin Khatab (13 H/634 M) membentuk Dewan Ekonomi dengan tugas sebagai berikut:
1. Mendirikan
Baitul Mal (kantor bendahara negara), menempa uang, membentuk tentara untuk
menjaga dan melindungi tapal batas, mengadur ngaji, mengangkat hakim-hakim,
mengatur perjalanan pos, dan lain-lain.
2. Mengadakan
dan menjalankan hisbah.
3. Memperbaiki
dan mnegadakan perubahan terhadap peraturan yang telah ada.
A.
Pendirian
lembaga baitul maal
Pada tahun 16 H, bangunan lembaga
baitul maal pertama kali didirikan dengan Madinah sebagai pusatnya. Dan
didirikan juga cabang-cabang di ibu kota provinsi. Untuk menangani lembaga
tersebut, Khalifah Umar bin Khatab menunjuk Abdullah bin Irqam sebagai
bendahara negara dengan Abdurrahman bin Ubaid al-Qori sebagai wakilnya.
Khalifah
Umar bin Khattab juga membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut
campur
dalam mengelola baitul maal. Ditingkat propinsi,
pejabat yang bertanggung jawab terhadap harta umat tidak bergantung kepada gubernur dan mereka
mempunyai otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta
bertanggungjawab langsung kepada pemerintah pusat.
Untuk
mendistribusikan baitul mal, Khalifah Umar bin Khattab mendirikan beberapa
departemen yang dianggap perlu, seperti:
a. Departemen
pelayanan militer
b. Departemen
kehakiman eksekutif
c. Departemen
pendidikan dan pengembangan Islam
d. Departemen
jaminan sosial
Dan pada masa pemerintahannya,
Khalifah Umar mengklasifikasikan pendapatan negara menjadi empat bagian. Yaitu:
1. Pendapatan
zakat dan pajak tanah.
2. Pendapatan
khums dan sedekah.
3. Pendapatan
kharaj, fa’i, jizyah, pajak perdagangan, dan sewa tanah.
4. Pendapatan
lain-lain.
Diantara alokasi dana pendapatan
baitul mal tersebut, dana pensiun merupakan pengeluaran negara yang paling
penting. Dengan kata lain dana pensiun ini sama halnya dengan gaji regular angkatan bersenjata dan
pasukan cadangan serta penghargaan bagi orang- orang yang telah berjasa.
Sementara itu, dana
pertahanan negara digunakan untuk membeli sarana dan prasarana militer, seperti
perlengkapan perang dan pembangunan markas militer. Sedangkan dana pembangunan
digunakan untuk sektor pertanian dan perdagangan, pembangunan jaringan
terowongan, dan berbagai fasilitas umum lainnya yang dapat menunjang kelancaran
akitivitas perekonoian dan kesejahteraan masyarakat umum.
Daftar pustakanya dari pembahasan diatas.
Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah,
Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002
Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer,
Jakarta: Rajawali Pers, 2008
[1] Ibnu Hisyam,Sirah Ibnu Hisyam,jilid IV,Mesir: Mathaba’ah
Mustafa Al-Babi Al-Halabi Wa Auladuh,1937,hlm 340-341.
[2] Amin Said,Nasy’atud Daulat Al-Islamiyah,hlm.210-211.
[3] Syed Mahmudunnasir,Islam, Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung:Rosda
Karya,1991,hlm.163
[4] Jalaluddin As-Suyuti,Tarikh al-Khuafa,Beirut: Darul
Fikr,1979,hlm. 67 dan 72
[5] Hirrah adalah sebuah kerajaan setengah Arab yang menyatakan
kesetiaannya kepada kisra Persia, yang secara strategis sangat penting bagi
umat islam dalam meneruskan penyebaran agama ke wilayah di belahan utara dan
timur.
[6] Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh
Kontemporer (Jakarta: Rajawali Pers, 2008),Hlm 405
0 komentar:
Posting Komentar